Senin, 04 April 2011

Illegal Logging

    Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Illegal logging  bukanlah sebuah masalah baru.
Istilah ” Illegal Logging” itu sendiri berasal dari wacana yang dibawa dari luar, dan konteks yang dimaksud dapat berbeda dengan Indonesia . Dalam bahasa Indonesia, setidaknya digunakan istilah “penebangan liar” atau “penebangan haram”.
WALHI menyatakan bahwa setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging (penebangan yang merusak). Dephut menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan ilegal senilai 30,42 triliun rupiah per tahun, sementara CIFOR menyatakan bahwa Kalimantan Timur telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan.

Solusi Yang Belum Menghasilkan
Sisi lain yang dilakukan pemerintah adalah melalui kesepakatan Menteri Kehutanan dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui SK Menhut No 10267/Kpts-II/2002 dan SK Memperindag No 83/MPP/Kep/12/2002 yang dibuat pada tanggal 13 Desember 2002 untuk membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang beranggotakan 5 orang supervisor dan 17 orang pengelola. BRIK bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan melalui keberlanjutan ketersediaan bahan baku bagi industri kehutanan dan melakukan revitalisasi industri kehutanan untuk membantu penyediaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang berkelanjutan. Pada tanggal 10 Juni 2003 telah terdapat 3.625 perusahaan untuk menjadi ETPIK, sejumlah 3,592 perusahaan telah memperoleh rekomendasi dari BRIK serta 3.325 perusahaan telah memperoleh ETPIK.
Beberapa hal yang sangat perlu dicermati dari substansi perpu yang telah beberapa kali mengalami perubahan adalah:

1.      Lingkup penegakan hukum yang dipersempit
Dari sebuah pengertian dalam Pasal 1 (1) rancangan perpu disebutkan bahwa hutan adalah hutan negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani bukti hak atas tanah, dan hasil hutan berupa kayu adalah kayu bulat dan/atau kayu olahan primer atau gergajian yang berasal dari hutan. Melihat lingkup penegakan hukum yang akan dilakukan, maka sangat terbatas pada kawasan hutan, sedangkan kondisi aktual saat ini masih sering terjadi ketidakjelasan kawasan hutan di lapangan. Saat ini baru 12 juta hektar kawasan hutan yang telah ditatabatas, selebihnya belum dilakukan tata batas, sehingga memungkinkan terjadinya manipulasi asal kayu yang membuat terlepasnya pelaku dari jerat hukum.
Hal lain adalah dari judul perpu yang telah mengalami perubahan beberapa kali, dalam draft akhir hanya menyebutkan ?penebangan pohon di dalam hutan secara ilegal?. Walaupun dalam pasal 3 menyatakan bahwa lingkup perpu adalah penebangan pohon dalam hutan secara ilegal, termasuk pemanenan, pemungutan, pengangkutan, penyimpanan, penguasaan, pemilikan dan peredaran kayu hasil penebangan secara ilegal, namun hal ini berpotensi pada pemelintiran hukum sebagaimana yang selalu terjadi selama ini.

2.       Badan Pemberantasan Tindak Pidana di Bidang Kehutanan yang sangat super power
Bila melihat komposisi Badan Pemberantasan Tindak Pidana di Bidang Kehutanan (BPTPBK) yang beranggotakan unsur Departemen Kehutanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung dan instansi terkait, dengan diketuai oleh Menteri Kehutanan, menjadikan baik buruknya pelaksanaan tugas oleh BPTPBK sangat tergantung kepada moral Ketua Badan, dalam hal ini Menteri Kehutanan. Ketua Badan bahkan bisa meminta Panglima TNI dan Kapolri, bahkan Gubernur pada beberapa hal. Badan yang diketuai oleh Menteri Kehutanan akan menjadi lembaga yang super power namun sangat miskin dalam hal transparansi dan akuntabilitas.


3.      Kepentingan ekologi yang dilupakan
Disebutkan bahwa uang hasil lelang barang bukti sebesar 75% dikelola oleh Ketua BPTPBK untuk biaya operasional dan insentif bagi pihak yang berjasa, sedangkan 25%nya disetor ke Kas Negara. Dengan sangat besarnya prosentase insentif bagi pihak yang berjasa tersebut, maka hutan akan semakin rusak karena tidak ada insentif bagi hutan yang telah ditebang. Padahal setiap kayu yang ditebang dari hutan telah membuat kerusakan bagi sekurangnya 25 batang anakan pohon disekitarnya, yang tentunya membutuhkan restorasi.


4.      Ketertutupan di era keterbukaan
Tidak diaturnya mekanisme akuntabilitas (pertanggunggugatan) badan kepada publik di dalam Perpu ini membuat masyarakat tidak memiliki kewenangan terhadap akses informasi dalam proses penegakan hukum. Masyarakat hanya diposisikan sebagai pelapor, sedangkan pada proses pengawasan, masyarakat ditinggalkan. Penting untuk memasukkan pertanggung gugatan gugus tugas kepada publik, termasuk didalamnya proses transparansi dan kewajiban publikasi dari BPTPBK, untuk memperkecil ruang kolusi dan korupsi di dalam badan. Badan juga harus memiliki kewajiban untuk mengumumkan kepada publik proses-proses yang telah dilakukan, termasuk tentang lokasi, pelaku, barang bukti dan proses hukum yang sedang dilalui oleh pelaku.

Menyelamatkan Hutan Indonesia Yang Tersisa Hanya Sebuah Mimpi
Menyaksikan drama penebangan kayu tak berijin yang masih selalu terjadi, begitu mudahnya aliran kayu keluar masuk hutan, hingga semakin seringnya bencana terjadi di negeri yang sangat kaya sumberdaya alam ini, telah menyumbat pikiran dalam menggapai penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Berkali-kali seminar, lokakarya, workshop, pelatihan maupun perjanjian yang lahir, masih belum sanggup pula untuk menyelesaikan kemelut kayu ilegal.
Terbangunnya jiwa konsumerisme, mendarahdagingnya kapitalisme, hingga menguatnya individualisme telah membuat masing-masing individu saat ini tidak pernah berpikir untuk menyelamatkan hidup orang lain. Bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan hingga krisis air yang terjadi selalu dipandang sebagai takdir. Akhirnya membuat upaya penyelamatan hutan Indonesia yang tersisa hanyalah sebuah mimpi.
Mungkin kita harus egois untuk mulai tidak berpikir bagi orang lain. Selamatkanlah diri masing-masing dengan mulai membangun ekosistem hutan sendiri yang akan dimanfaatkan sendiri. Menyiapkan persediaan kayu bagi kebutuhan membangun rumah di masa datang, menyediakan lahan berpepohonan untuk kebutuhan air tawar di masa datang, hingga memelihara flora-fauna untuk kebutuhan pangan dan obat-obatan bagi keluarga. Lupakanlah orang lain, mari berpikir untuk diri sendiri dengan bumi yang kita ciptakan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar