K.H. ZAENAL MUSTOFA yang dilahirkan pada tahun 1899 di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang bernama Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.
K.H. ZAENAL MUSTAFA adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang.
Nama kecilnya K.H. Zaenal Mustofa adalah Hudaeni, Lahir dari keluarga petani berkecukupan, Putra pasangan Nawapi dan Ratmah di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya ini merubah namanya menjadi Zaenal Mustafa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Hudaeni/K.H Zaenal Mustofa memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomi keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi.
Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung.
Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas. Disamping itu, dalam sejarah kita menemukan sebuah kenyataan bahwa KH. Zainal Musthafa adalah seorang aktor kunci dalam peristiwa heroik di Sukamanah pada tanggal 25 Februari 1944. Pada saat itu KH. Zainal Musthafa beserta para santri dan pengikutnya melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Jepang yang menamakan dirinya sebagai Pembela Asia, Bahkan K.H.Zainal Musthafa secara tegas dan lantang menolak praktek seikerei yang dalam pandangan beliau merupakan bentuk lain dari kemusyrikan dan kekafiran dan bertentangan dengan konsef Tauhid dalam Islam. Sebelumnya, pada masa kolonialisme Belanda K.H.Zainal Musthafa sangat mengutuk praktek penjajahan, sehingga sudah sangat sering beliau keluar masuk penjara. Sementara itu, pada masa penjajahan Jepang beliau tidak hanya dipenjara, akan tetapi menerima hukuman mati. Sebuah kisah sangat mengagumkan sekaligus mengharukan.
Pada tanggal 25 Februari 1944, yang jatuh pada hari Jumat, di sebuah kampung di daerah Singaparna Tasikmalaya, terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis. Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang, Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang),sebanyak 23 orang meninggal termasuk K.H.Zaenal Mustofa. Di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat, kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
K.H. Zaenal Mustofa dan para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zaenal Mustofa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972.
Ada satu hal yang harus kita cermati, dari sikap K.H. Zainal Musthafa yaitu, sikap oposan (oposisi) terhadap kolonialisme. Sikap oposan bisa diartikan sebagai sikap dengan mengambil posisi saling berhadapan, berseberangan dan bertentangan. Akan tetapi bukan hanya sekedar berlawanan, Sikap oposan KH. Zainal Musthafa adalah sikap oposan yang berorientasi pada kepentingan umat. Dalam hal ini oposan merupakan semacam aktualisasi dari konsef Amar Maruf Nahy Munkar (memerintah pada kebaikan dan menjegah kemunkaran). Sehingga bukan seperti oposisi ulama kita saat ini yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok dan partai politik. Sebenarnya sikap oposan yang berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu kerap kali berseberangan dengan ajaran Islam, serta lebih menonjol subjektivisme nya dan menggusur objektivisme.
Setelah peristiwa Heroik dan tragis itu, pesantren Sukamanah ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustafa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta.
Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda.
Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya, Jawa Barat.
1. http://www.pstkhzmusthafa.or.id
2. https://sundaislam.wordpress.com